Mas Yudh dan Reliabilitas: Obituari
Oleh: M.Akhyar, M.Si
Salah satu hal yang saya sukai dari sidang skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Pancasila adalah adanya penguji dari luar fakultas. Selain menambah kenalan kolega sesama pengajar-peneliti-praktisi di bidang Psikologi, mengundang orang luar di mata saya adalah semacam penegasan kepercayaan diri bahwa ada standar kurikulum yang dilewati semua mahasiswa hingga mereka menyelesaikan skripsi dan boleh diuji orang luar.
Suatu kali, seorang penguji luar mengapresiasi mahasiswa yang diuji karena pengujian psikometri yang digunakan tak sekadar dengan pendekatan klasik, tetapi sudah menggunakan item response theory. Ia menambahkan, pendekatan itu terlalu advance untuk tingkat sarjana. Menanggapi itu saya setengah bercanda, “di sini menggunakan IRT, ya kelaziman Mbak.” Mas Sony, yang juga sebagai penguji di sidang tersebut terlihat bungah.
Sekitar sewindu yang lalu, saya diminta untuk mengampu mata kuliah Konstruksi Alat Ukur Psikologi. Mata kuliah yang sering diplesetkan Mas Ito sebagai Karunia Allah Untuk Psikologi sebagai antitesis “Kutukan Allah Untuk Psikologi”. Tentu permintaan agar saya mengajar mata kuliah ini sungguh pujian yang berlebihan. Bagaimana mungkin orang yang tak paham sama sekali apa yang diajarkan Mas Budi Matindas, kecuali joke-joke jeniusnya, ketika mata kuliah Statistika malah diminta mengajar KAUP. Saya sudah memberikan tangkisan-tangkisan penolakan, tetapi karena kemudian Mas Yudha meyakinkan bahwa ia akan mendampingi, saya terima permintaan itu.
Sampai sekarang keputusan itu adalah hal yang saya syukuri. Meski pun secara konseptual saya tidak terlalu bermasalah dengan mengoperasionalisasi konstruk hingga menjadi item, saya punya persoalan dengan menemukan bukti matematik bahwa satu item, dimensi, konstruk itu memang benar-benar mengukur apa yang hendak diukur. Saya selalu curiga dengan korelasi antara skor suatu item dan skor total, tetapi saya tidak tahu cukup punya pengetahuan apa alternatifnya. Saya bisa menyimpulkan bahwa pendekatan itu sebenarnya hanyalah pengujian reliabilitas, tetapi kalau ditanya “terus apa yang lebih benar?” saya akan terdiam. Hingga akhirnya saya bertemu dengan Mas Yudha yang memperkenalkan saya dengan CFA/EFA dan Rasch Model.
Menghilangkan simbol rit alias korelasi item dengan skor total sebagai bukti validitas alat ukur di Bab III naskah skripsi mahasiswa psikologi adalah jihad. Suatu ikhtiar yang tak mudah. Bayangkan, indeks ini sudah dibuang jauh-jauh sebagai bukti validitas ketika mata kuliah Psikometri dan KAUP diberikan, tetapi entah bagaimana tiba-tiba muncul lagi di Bab III ketika skripsi ditulis. Penyakit status quo bias memang bisa menjangkiti siapa pun, termasuk pengajar psikologi. Pada titik ini Mas Yudha rela menyisihkan waktu untuk memberikan semacam penjelasan entahkah personal atau di forum dosen soal ini. Hingga hari-hari ini kita bisa haqqul yaqin, tak satu pun mahasiswa fakultas psikologi universitas Pancasila yang menggunakan indeks validitas dengan menghitung korelasi skor item dan skor total untuk pengujian psikometri alat ukur skripsinya. Sesuatu yang bahkan masih dipraktikkan dengan takzim di fakultas psikologi universitas terbaik di Indonesia beberapa kilometer di selatan Jakarta.
Saya teringat hadits Nabi, “Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya.” Saya membayangkan, selama skripsi-skripsi tanpa rit itu ada di perpustakaan psikologi kemudian dibaca mahasiswa setelahnya kemudian mereka masih setia hijrah total dari rit ketika mencari bukti validitas alat ukur, sepanjang itu pula cahaya keberkahan mengalir ke Mas Yudh. Tentu daftarnya bisa diperpanjang, bagaimana membuat item yang baik, apa beda reliabilitas dan validitas, hingga bahwa perbedaan analisis regresi dan korelasi bukanlah regresi berarti soal pengaruh, sementara korelasi soal hubungan. Saya percaya pengetahuan-pengetahuan ini tak hanya bermanfaat untuk menyelesaikan skripsi, tetapi akan tetap bermanfaat hingga para alumni bekerja di bidangnya masing-masing.
Terakhir, saya dan Mas Yudh, jarang sekali berbeda pemikiran saat di rapat-rapat di fakultas. Sesuatu yang sangat tak lazim sebenarnya untuk orang-orang yang mengenal tabiat saya. Di sini, di hari yang sangat berat ini, saya berikan rahasianya: Mas Yudh adalah guru saya, pantang bagi saya bertentangan pendapat dengan guru apalagi mempertunjukkannya di depan khalayak. Saya paham, Mas Yudh mungkin bukanlah orang yang pikiran, perkataan, dan perbuatannya valid untuk setiap aspek yang kita sebut kebaikan dalam hidup, tetapi saya percaya Mas Yudh adalah salah seorang manusia paling reliabel yang saya jumpai. Saya punya bukti untuk ini: setiap foto-foto yang diunggah orang-orang yang menyanyangi Mas Yudh hari ini, semuanya menampilkan senyum yang mirip, senyum yang tak hanya muncul di foto, tetapi di ingatan saya setiap kali kita bertemu, entah pagi, siang, atau sore.
Malam ini hujan, semoga keberkahan Allah menyejukkan kuburan Mas. Selamat menuai semua pengetahuan yang Mas telah tabur selama hidup, jujur saya iri untuk hal ini.
Alfatihah.