Kuliah Umum: Update on Neuroscience
Psikologi dan neurosains. Dua disiplin ilmu yang adakalanya saling bersinggungan ini dalam praktiknya masih berjalan secara terpisah. Memang, hingga saat ini berbagai disiplin ilmu yang ada di Indonesia masih belum terjembatani dengan baik. Masing-masing berdiri sendiri, padahal semestinya bisa saling berkolaborasi. Hal inilah yang menjadi salah satu perhatian utama Bapak Irawan Satriotomo MD, PhD mengenai perkembangan ilmu di Indonesia yang bisa dibilang, masih terbelakang. Pada kuliah umum yang diselenggarakan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila pada tanggal 15 Agustus 2016 yang lalu, Bapak Irawan dari University of Florida mengajak peserta kuliah melihat sekilas cognitive neuroscience dan perkembangannya di dunia modern.
Cognitive neuroscience adalah ilmu yang mempelajari mekanisme neural proses kognisi. Singkatnya, cognitive neuroscience merupakan ilmu kombinasi dari psikologi kognitif dan neurosains. Bapak Irawan menjelaskan secara singkat bagaimana penemuan alat-alat ukur aktivitas otak (EEG, PET, MRI, dll) berpengaruh terhadap perkembangan cognitive neuroscience. Pada abad ke-19, manusia menggunakan phrenology sebagai salah satu acuan untuk mempelajari karakter manusia dengan gagasan bahwa area yang berbeda di otak memiliki fungsi mental yang berbeda. Dengan ditemukanya alat-alat pengukur aktivitas otak, saat ini para ilmuwan mampu memetakan fungsi-fungsi otak pada area yang berbeda, termasuk area fungsi proses kognisi. Dengan demikian, phrenology yang sebelumnya sempat dipercayai sebagai science, kini berubah kedudukan menjadi pseudoscience karena tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Selain itu, Bapak Irawan juga menyebutkan beberapa hasil penemuan yang berkaitan dengan neurosains, seperti DBS (Deep Brain Stimulation) untuk pasien Parkinson, EEG untuk menggerakkan drone, penemuan god spot (area di otak yang berhubungan dengan spiritualitas), dan TMS (Transcranial Magnetic Stimulation) untuk autisme.
Berbagai hasil penelitian dalam cognitive neuroscience semakin mendekatkan manusia kepada pemahaman terhadap dirinya. Meskipun demikian, direktur Indonesia Brain Research Center (IBRC) Surya University ini beberapa kali menegaskan bahwa mempelajari aspek biologis saja tidak cukup untuk dapat memahami tingkah laku. Lingkungan, seperti environmental enrichment yang dapat meningkatkan kemampuan kognisi tikus, juga memiliki peran penting dalam membentuk tingkah laku. Oleh karena itu, pendekatan multidisiplin dirasakan sangat penting untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana ilmuwan dari tiap-tiap disiplin ilmu yang ada harus mampu bekerja sama. Lalu pertanyaannya, apa yang harus dilakukan untuk membuat kolaborasi tim riset dari berbagai disiplin ilmu? Beliau menjelaskan, adanya mediator yang menjembatani dapat dijadikan sebuah solusi. Dengan adanya kuliah umum ini, para peserta kuliah diharapkan dapat lebih mengenal cognitive neuroscience dan tercerahkan untuk memulai tim riset kolaborasi.
-Astrid Marjuan, 2016